Si kecil memukul Anda? Aduh, pasti bikin kecewa. Seperti air susu dibalas air tuba. Padahal mungkin bukan cuma pada orangtuanya ia mendaratkan pukulan, tapi juga pada om, tante, pengasuh, bahkan gurunya. Ya, banyak faktor yang melatarbelakangi perilaku agreasif pada si prasekolah. Namun, anak prasekolah belum terlalu bisa mengontrol emosinya. Apalagi pada anak yang mengalami gangguan pertumbuhan impuls saraf sehingga perilakunya sering tidak dapat terkontrol.
Nah, apa pun penyebabnya, perilaku agresif ini tak boleh dibiarkan karena buruk dampaknya buat si anak. Jangan khawatir, setiap perilaku anak masih bisa diubah dan diperbaiki, termasuk anak yang menderita gangguan hiperaktif atau autisme sekalipun.
5 Penyebab
1. Sulit mengomunikasikan keinginan
Tidak semua anak prasekolah bisa mengungkapkan keinginannya dengan baik sehingga membuat kita sulit memahaminya. Kesulitan mengungkapkan keinginannya inilah yang membuat anak sering melakukan jalan pintas dengan bersifat agresif. Contoh, anak minta dibelikan cokelat merek tertentu namun dia tak bisa menyebutkannya. Ketika kita tidak menanggapinya, bisa saja dia bersikap agresif dengan memukul atau menendang. Sikap agresif akibat kesulitan mengomunikasikan keinginan ini akan semakin kentara bila anak mengalami gangguan pertumbuhan kemampuan bicara. Pasalnya, anak sangat kesulitan mengungkapkan keinginannya sehingga dia akan memilih jalur agresif sebagai jalan pintas.
2. Mendapat contoh
Bisa saja anak bersifat agresif karena mendapat contoh dari lingkungannya. Umpama, kita pernah mengungkapkan kekesalan dengan memukul bokong anak saat ia sulit diajak mandi. Contoh seperti ini efektif ditiru anak sehingga anak pun mudah melakukan hal yang seperti kita lakukan.
Mungkin kita merasa tak pernah memberi contoh perilaku agresif ke anak, tetapi ada sumber peniruan lain yang bisa dilihat anak seperti teman TK-nya, tetangganya, om dan tante, atau tayangan di teve. Untuk yang terakhir, sangat efektif ditiru anak mengingat teve begitu menarik dengan banyaknya adegan yang dimanipulasi lewat suara dan gambar. Apalagi hampir setiap anak sangat senang menonton teve. Bila yang ditontonnya adalah Bawang Merah yang sedang menjambak Bawang Putih, tak mustahil anak akan menirunya.
3. Emosi tak tertahankan
Kadangkala keinginan anak begitu besar, misal, ingin bersepeda padahal hari sedang terik-teriknya. Ketika kita tidak menyetujui keinginannya itu, sontak anak emosi. Emosi yang tak tertahankan membuat anak bersikap agresif. Dia akan memukul, menendang, menjambak, dan sebagainya. Emosi yang tak tertahankan ini pun muncul karena anak merasakan sebuah kehilangan yang sangat besar. Dalam benaknya, bersepeda adalah kegiatan yang sangat mengasyikkan. Nah, karena tidak mau keasyikannya terhalang, dia pun bersikap agresif.
Emosi yang tak tertahankan kemudian diiringi dengan sikap agresif ini sering kali muncul pada anak yang memiliki sifat temperamental, sering "meledak-ledak". Mungkin penyebabnya sepele, makanan kesenangannya terjatuh misal, dia bisa langsung marah besar. Dia tidak mau diberikan kue lain padahal kue yang dipegangnya sudah jatuh.
4. Cemburu dan cari perhatian
Kehadiran adik baru sering menimbulkan kecemburuan karena si kakak merasa tak diperhatikan lagi. Ini memang reaksi wajar karena anak merasa kehilangan fokus perhatian dari orangtuanya. Cemburu bisa membuat anak bersikap agresif kepada orangtua dengan tujuan mendapat perhatian dari orangtuanya. Bila perhatian tak kunjung didapat maka sikap agresif akan kerap muncul.
5. Ada gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan dalam diri anak pun dapat membuatnya melakukan sikap agresif, seperti pada penderita hiperaktif dan autisme. Mereka mengalami gangguan pada impuls sarafnya sehingga sering kali perilakunya tidak terkontrol. Saat keinginannya tak terpenuhi misal, mudah sekali bagi mereka untuk mengungkapkan perasaannya dengan perilaku agresif. Tak hanya memukul, menendang, dan menjambak, agresivitas yang sifatnya menyakiti diri sendiri pun akan dilakukan anak, seperti membentur-benturkan tubuhnya ke dinding, berguling-guling di lantai, melukai sebagian tubuhnya, dan lainnya.
4 DAMPAK NEGATIF Bila DIBIARKAN
1. Menetap dan terbawa hingga lama.
Banyak kan orangtua yang membiarkan anaknya bersikap agresif? Mereka tidak ambil peduli ketika si anak memukul tubuh dan menendang kakinya. Hal ini akan membuat perilaku anak menjadi keterusan dan tak mustahil akan menetap hingga ia besar. Bila demikian, ketika anak menghadapi masalah dengan orang lain, dia akan lebih mudah untuk bersikap agresif.
2. Citra negatif.
Sikap agresif yang kental pada diri anak akan membuatnya dijauhi teman-temannya. Ada kan anak yang tidak mau atau dilarang bermain dengan anak lain oleh orangtuanya karena takut dipukul atau ditendang? Hal ini akan merugikan si anak sendiri. Selain dia memiliki citra negatif, anak juga akan kehilangan kesempatan bersosialisasi. Padahal banyak sekali manfaat yang bisa didapat anak saat ia bersosialisasi, seperti belajar berinteraksi, mengenal lebih dalam lingkungannya, memahami karakter temannya, dan sebagainya.
3. Tidak tahu mengungkapkan perasaan.
Terbiasa bersikap agresif membuat pola pikir anak menjadi sempit. Umpama, ketika anak emosi, cara meluapkan yang ia tahu hanyalah dengan bersikap agresif. Setiap dilarang melakukan kesenangannya, anak akan memukul, menendang, menjambak, bahkan melempar kita dengan benda yang ada di tangannya. Pasalnya, anak tak diberitahu kalau untuk mengungkapkan emosi bisa dengan berkomunikasi lebih baik, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara menggeleng dan sebagainya.
4. Tidak punya empati.
Dipukul, ditendang, dicubit, tentu akan terasa sakit. Bila anak melakukannya namun kita tak menjelaskan akibat yang ditimbulkannya, membuat anak tidak tahu bahwa ada orang lain yang kesakitan. Ketidaktahuan inilah yang akhirnya membuat anak tidak tersentuh rasa empatinya. Empati yang tak tersentuh membuatnya sulit untuk berempati kepada orang lain. Padahal, empati dapat memperkuat sifat kasih sayang anak. Bila empati tidak ada dan anak tak punya rasa kasih sayang, dikhawatirkan akan membuat pertumbuhan kepribadiannya tidak ke arah positif. Mungkin saja dia akan seenaknya dalam berperilaku, mau menang sendiri, tak peduli dengan penderitaan orang lain.
TIP & TRIK MENGATASI
* Terangkan.
Maklum, usia anak masih kecil, tentu dia perlu belajar banyak dari lingkungannya mengenai apa yang boleh dan tak boleh dilakukannya. Jadi, kala anak bersikap agresif, segera atasi dengan menerangkan bahwa apa yang dilakukannya dapat menyakiti orang lain, "Adek, kok Mama dipukul? Kan sakit." Dari situ anak bisa berpikir kalau tindakannya itu bisa menyakiti orang lain. Lalu empatikan ke anak terhadap rasa sakit yang kita derita, "Coba kalau Adek dipukul, bagaimana rasanya? Pasti sakit!" Dengan berusaha menumbuhkan empati yang ada, anak akan lebih berhati-hati bersikap. Tentu agak sulit meminta anak untuk segera memahami apa yang kita terangkan. Namun bila kita terus berusaha, lambat laun anak akan mengubah sikap agresifnya. Demikian pula bila yang dipukul adalah orang lain, seperti om-tante, pengasuh, atau guru, segeralah terangkan bahwa perilaku tersebut tak baik dilakukan anak.
* Berikan alternatif perilaku.
Jangan hanya menerangkan tetapi kita harus memberikan alternatif perilaku lain yang bisa dilakukan anak, supaya anak benar-benar memahami apa yang seharusnya dia lakukan. Misal, dengan meminta anak untuk tidak memukul tetapi menyayangi kita, "Adek, lebih asyik kalau Adek
sayang sama Mama. Begini nih caranya," sambil kita menunjukkan cara bagaimana perilaku menyayangi itu, seperti membelai rambut, mencium pipi, dan sebagainya. Dengan alternatif perilaku ini, sikap agresif anak menjadi teralihkan. Bila kita tidak mengalihkan, anak akan bingung, bagaimana dia harus berperilaku.
Mungkin, terhadap anak yang pada dasarnya sangat aktif sehingga dia mudah bersikap agresif, perlu cara lain untuk mengatasinya. Umpama, dengan memberinya sansak untuk dijadikan sarana memukul, menendang, sehingga emosinya tersalurkan. Atau mungkin bisa memberikan alat-alat tulis sehingga anak bisa mencorat-coret atau mengungkapkan keinginannya lewat gambar atau tulisan.
* Libatkan ahli.
Bila penyebab agresivitasnya karena gangguan pada diri anak seperti hiperaktif atau autisme, tentu sangat berat menangainya sendiri. Pasalnya, butuh konsistensi dan terapi tertentu sehingga kita perlu bantuan ahli, seperti psikolog. Klinik-klinik atau sekolah untuk anak kebutuhan khusus biasanya punya metode tertentu yang dapat diterapkan ke anak.
* Beri perhatian secara adil.
Bila penyebabnya adalah mencari perhatian karena lahirnya adik, selain memberi penjelasan kita pun perlu mengoreksi diri apakah selama ini kita kurang memberinya perhatian. Sambil memberi perhatian, tak salah bila kita meminta maaf, "Maaf ya Kak, kemarin Mama sibuk memerhatikan adik. Mama juga sayang kok sama Kakak."
Bila anak keterusan mencari perhatian, maka tindakan yang paling efektif adalah tidak mengacuhkan perilakunya. Biarkan saja anak agresif karena kalau hanya "caper" pasti akan hilang sendiri lantaran "capernya" tak berhasil.
* Tidak memojokkan tapi berikan reward.
Saking kesal dengan perilaku anak sering kali sikap kita lepas kontrol. Kita menangani anak dengan kata-kata kasar, mengancam, bahkan tindakan fisik yang membuat anak terpojok. Tindakan ini tak dibenarkan karena anak akan bingung untuk melakukan sesuatu yang benar. Ditambah lagi anak mendapat contoh baru, kata-kata kasar, yang dikhawatirkan kelak akan dicontoh anak.
Sebaiknya kita kembangkan sisi positifnya. Bila anak berhasil meredam emosinya dengan tutur kata yang baik, berilah reward, "Pintar, begitu dong kalau ingin minta susu, bilang dengan baik," sambil kita membelai rambutnya. Dengan begitu anak akan senang melakukannya lagi dan lambat laun sikap agresifnya pun akan hilang.
Irfan Hasuki. Foto: Ferdi/NAKITA
Narasumber:
Vitriani Sumarlis, MSi., Psi.,
dari Sekolah Dasar Khusus Pantara, Jakarta Selatan
Minggu, 19 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar